SEPERTI biasa, awal tahun lalu sebagian mahasiswa kembali sibuk mengurus kartu ujian. Kartu ini dipergunakan khusus selama masa ujian akhir semester. Kalau mau ikut ujian, harus perlihatkan kartu ujian dulu sebelum masuk kelas. Bila tak ada kartu atau ketinggalan, tak bisa ikut ujian. Namun kebijakan ini tidak berlaku di semua fakultas. Sejauh ini, ia hanya berlaku untuk Fakultas Hukum (FH) dan Fakultas Ekonomi (FE).

Di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), saat musim ujian tiba, seluruh mahasiswanya boleh mengikuti ujian. Hal wajib yang diperhatikan hanya soal absen. Boleh ikut ujian asal absen tak lebih dari empat kali. Aturan ini berlaku universal, artinya seluruh fakultas menerapkan aturan yang sama.

Beda lagi dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) serta Fakultas Pertanian (Faperta). Selain aturan absen, mahasiswa yang ingin ikut ujian juga harus memperlihatkan Kartu Rencana Studi (KRS) untuk semester yang sedang diikuti serta membawa foto.

“Kami nggak ada pakai kartu ujian. Nggak ada juga pungutan apa-apa waktu ujian,” kata Anggi, mahasiswa FISIP. Hal sama diungkapkan Asih, mahasiswa Faperta.

Di FE, selain memperhatikan absen, kartu ujian akan dicek bila hendak mengikuti ujian semester. Ia dibuat menjelang ujian semester. “Bayar Rp 5 ribu untuk buat kartu ujian,” kata Sari, mahasiswa Jurusan Akuntansi FE. Tak hanya kartu ujian yang bayar, bila hendak legalisir transkrip nilai, harus bayar juga seribu rupiah per lembar. Makin banyak yang dilegalisir, makin besar dana yang harus dikeluarkan. “Biar saja lah biar cepat kelar. Anggap saja sedekah buat orang kaya,” celetuk Sari.

Bahana pernah mengangkat kasus pungutan ini pada edisi Mei 2009. Dijelaskan bahwa pungutan merupakan hak otoritas fakultas. Namun ia tetap harus mengacu pada aturan fakultas yang dicantumkan dalam surat keputussan Dekan.

Setiap fakultas menerapkan biaya yang berbeda. Baik dalam mengurus surat aktif kuliah, tidak mendapat beasiswa ganda, berkelakuan baik maupun legalisir. Biaya pungutan digunakan untuk mencetak ulang berkas yang diminta. Sebagian lagi digunakan untuk tunjangan pegawai yang bekerja.

SRI INDARTI Pembantu Dekan I FE katakan pembuatan kartu ujian beserta biayanya sudah jadi kesepakatan bersama. “Sudah disosialisasikan dulu dengan BEM FE, mereka tidak keberatan,” kata Sri. Menurut Sri, biaya pungutan itu digunakan untuk dana cetak kartu ujian.

Kartu ujian terdiri dari selembar kertas diambil dari hasil transkrip mata kuliah. Bentuknya tak jauh beda dengan Kartu Rencana Studi (KRS). Namun isinya agak berbeda. Kartu ujian terdiri dari kolom-kolom. Ada kelas—regular atau non regular—item mata kuliah yang diambil serta jumlah Sistem Kredit Semester (SKS).

Selain itu dicantumkan juga jadwal pelaksanaan ujian, tanggalnya, waktunya serta ruangan dan nomor tempat duduk. Kolom yang dikosongkan adalah paraf. Ia akan ditandatangani oleh dosen bersangkutan. Pada bagian atas juga tersedia space untuk menempelkan foto. Tanda tangan Sri Indarti selaku PD I FE dicantumkan pada bagian bawah.

Namun Sri kaget saat dikonfirmasi soal pungutan untuk legalisir transkrip nilai. “Saya tidak tahu menahu tentang itu,” ujarnya. Guna mengetahui kebenarannya, Sri langsung menuju ruangan Vince Pembantu Dekan II FE. “Memang ada pungutan itu, untuk biaya fotokopi,” kata Vince pada Sri Indarti. “Tapi tidak ada disetor ke saya,” tambah Vince sembari menatap layar komputer.

Herlina Kepala Bagian Tata Usaha FE yang kami jumpai di ruangannya mengatakan hal berbeda. Ia mengetahui ada pungutan untuk pengurusan legalisir transkrip nilai dan diketahui PD I Sri Indarti. Nilainya sebesar Rp 10 ribu. Sementara Sri mengaku tak tahu menahu terkait pungutan tersebut. “Uangnya kami setor ke PD II,” tambah Herlina. Sementara Vince selaku PD II FE katakan tidak ada uang pungutan legalisir transkrip nilai disetor ke dirinya.

Herlina lantas memanggil Ernawati, Staf Tata Usaha yang menyerahkan uang pungutan legalisir transkrip nilai Rp 10 ribu tersebut ke PD II. Ernawati membenarkan hal tersebut. “Uangnya sudah saya setor langsung ke Ibu Vince PD II. Memang tidak pakai bukti serah terima. Langsung dikasihkan begitu saja,” kata Ernawati.

Ernawati masih ingat terakhir kali ia setor uang pungutan untuk legalisir transkrip nilai dengan total Rp 1,6 juta. Ia bawa uang tersebut ke ruangan PD II dan langsung diserahkan ke Vince selaku PD II FE. “Jadi, lillahitaala uang itu sudah kami setor,” tegas Herlina lagi.

KEBIJAKAN khusus lainnya di FE yakni soal baju toga untuk wisuda. Setiap mahasiswa yang hendak wisuda wajib mengeluarkan uang Rp 815 ribu. Termasuk di dalamnya biaya pembelian baju toga.

Kebijakan ini menimbulkan pro kontra di kalangan mahasiswa FE. “Wisuda kan hanya sekali, jadi saya kira buang-buang uang saja untuk beli baju toga,” kata Ridho mahasiswa Akuntansi. Ia lebih sepakat baju toga disewa saja seperti yang diterapkan di fakultas lain.

Di Fakultas Teknik (FT) misalnya. Mahasiswa tidak harus membeli baju toga jika ingin wisuda. Mereka hanya dikenakan biaya jaminan untuk peminjaman baju toga sebesar Rp 250 ribu. Jika sudah selesai wisuda, baju toga dikembalikan ke fakultas dan uang jaminannya dikembalikan kepada mahasiswa. “Kalau ada toga yang rusak saat dikembalikan, biaya perbaikannya dipotong dari dana jaminan Rp 250 ribu itu,” jelas Padil, Pembantu Dekan I FT.

Kebijakan seperti di FT yang sebenarnya diinginkan Ridho. Sementara Rahmat Fadli mahasiswa Ilmu Ekonomi terlihat lebih pasrah terkait kebijakan FE soal pembelian baju toga. “Mau gimana lagi, sudah begitu aturannya. Mungkin supaya bajunya jadi kenang-kenangan buat kita, sekali seumur hidup soalnya,” kata Rahmat.

Sri Indarti Pembantu Dekan I FE mengatakan bahwa kebijakan pembelian baju toga tersebut pada dasarnya hanya untuk mempermudah mahasiswa. “Pernah kejadian mahasiswa yang mau wisuda mencapai 800 lebih, susah mencari toga. Biar lebih gampang makanya kita suruh beli saja,” katanya.

Awalnya FE juga menerapkan kebijakan peminjaman baju toga seperti di FT. Namun berbedanya ukuran baju dengan si pemakai membuat banyak mahasiswa merasa tidak nyaman. “Jadinya toga itu ada yang dikecilkan supaya pas. Cepat rusak lah,” kata Sri.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka FE memutuskan setiap mahasiswa yang hendak wisuda wajib membeli baju toga yang dijual oleh fakultas. “Kalau sudah jadi milik sendiri, mau dikecilkan atau tidak, terserah,” kata Sri.

“Tapi kalau banyak mahasiswa keberatan dengan kebijakan ini, ya akan kita tinjau ulang,” tutup Sri Indarti. #